ZingTruyen.Xyz

Suami Pengganti

Sudah lama rumah Sina tidak kedatangan tamu, dan tepat sehari setelah kepulangan Sina dari rumah Elnos, rumahnya pun kedatangan teman-teman Sina yang dimulai dari teman semasa sekolahnya dulu. Sahabat ambyar yakni, Rasya, Wendi, Bandung, dan Mondy yang katanya ingin menjenguk sang damkar pemberani. Mereka bereempat baru memiliki jadwal kosong hari ini, makanya baru bisa menjenguk Sina.

"Maaf ye cuma bisa bawain brownies. Lumayan tuh, gue PO lima hari," kata Mondy memberikan bingkisan berisi brownies yang sebenarnya selalu ready setiap saat di toko kue.

"Ini gue bawain cendol ci mehong. Kayaknya enak sih, lo penyuka cendol dawet kudu rasain! Jauh banget gue belinya di PIK, awas lo gak suka!" Wendi ikutan memberi bungkusan dari toko yang sedang viral itu pada Sina.

"Gue kasih apa ya? Hm, gue lupa beli sesuatu. Gue berdua deh sama Wendi, Sin. Itu cendol dari gue juga ya!" Bandung menyengir tanpa merasa bersalah.

"Halah, bacot Dung!"

"Gue udah kasih ayam panggang tadi sama Niki, Tania juga nitip buah buat lo berdua," sambung Rasya menjadi penutup dari obrolan mengenai buah tangan dari keempat orang itu.

Kini kelima sahabat itu tengah duduk di teras belakang, menikmati sore hari yang sejuk ditemani oleh kopi yang Sina beli melalui online. Maklum, di rumahnya belum ada stok kopi karena Sina dan Niki belum sempat belanja bulanan.  Tapi tidak masalah, kopi dari warung kopi pun sudah nikmat rasanya.

"Wih, ternyata nongkrong di rumah lo enak juga, Sin. Adem, banyak pohonnya. Gak sering dengat suara mbak kunti, 'kan, lo?" cerocos Bandung sambil memandangi sekitaran area rumah Sina yang memang lebih menyatu dengan alam karena daripada rumah tetangga, lebih banyak pepohonan di sana.

"Sembarangan lo. Rumah eyang gue ini anti mahluk halus, tiap jum'at wajib dibacain yasin."

"Kan itu eyang lo yang baca. Bukan lo."

"Berisik ah lo pada! Noh, makan dulu browniesnya!" sunggut Rasya yang sudah muak mendengar ocehan tidak jelas dari teman-temannya itu.

"Ngomong-ngomong Niki mana? Kok gak keliatan dari tadi, Sin?" tanya Wendi sambil mencomot brownies yang dibawa Mondy tadi.

"Ada di dapur. Lagi masak kayaknya," jawab Sina yang tahu jika istrinya itu sejak tadi sibuk di dapur bahkan menyapa teman-teman Sina saja tidak Niki ladenin dan memilih stay di dapur. Tumben banget, ya kan.

"Wow, Niki masak? Buat kita-kita, nih?" seru Bandung dengan mata berbinar, antara sedang menggoda Sina atau malah kaget karena baru ini mendengar jika Niki memasak.

"Iya kali ya. Nanti deh gue tengokin dulu, siapa tau Niki emang lagi baik hati mau ngasih makan curut kayak kalian," ujar Sina santai sambil menyesap kopinya.

"Tapi gue lihat-lihat, habis insiden lo kecebur ini, hubungan lo sama Niki makin deket ya, Ki? Kata Rafa loh, sebelum ke Semarang dia bilang lo sama Niki udah baikan gitu," kata Rasya yang mana langsung diangguki oleh ketiga orang lainnya.

"Ada gunanya berarti lo tenggelam kemarin, Sin."

Sina merespon dengan senyum tipis namun cukup berarti bagi teman-temannya, mengetahui jelas jika hubungan satu temannya itu memang sudah baik-baik saja, atau malah jauh lebih baik dari sebelumnya. Terutama Rasya, yang sejak awal tahu bagaimana kondisi pernikahan Sina dan Niki itu.

"Berarti kita tinggal nunggu kabar baik aja, habis ini. Kembar cewek cowok bisa kali, Sin."

Dan percakapan yang tak terduga itu membuat Sina melongo sebentar. Memang ia tak pernah memikirkan mengenai hal itu sih, yah wajar, hubungan sahnya dengan Niki pun baru terjalin belum lama ini, tentu beluk terpikirkan bagi Sina memikirkan hal itu.

Tapi, ucapan adalah doa. Sina pun akan mengaminkan akan perkataan Mondy barusan.

"Aamiin. Doain aja yang terbaik."

"Mantap Bung Sina. Ngomong-ngomong, kok bini lo lama banget di dapur ya? Gue udah laper nih!" keluh Wendi mengusap perutnya yang merupakan kode untuk Sina pertanda lapar..

Dan bersamaan dengan Niki yang muncul menghampiri mereka. Langkah Niki berhenti tepat di samping Sina, menyampirkan lengannya di bahu pria itu dengan romantis hingga membuat ketiga orang di sana berdecak iri. Kecuali Rasya, yang malah bahagia melihat perlakuan sepasanh suami isteri itu,

"Udah selesai gosipnya, belum? Yuk, makan dulu. Kalian harus cobain masakan gue yang gak ada tandingnya."

***

Usai kepulangan keempat teman Sina, Niki memutuskan untuk membereskan cucian piring bekas mereka makan tadi, sementara Sina bertugas untuk membereskan area teras belakang yang tadi mereka pakai untuk mengobrol. Sebagai pria tentu saja kinerja Sina lebih cepat, atau malah karena pekerjaannya hanya merapikan kursi dan membuang sampah yang terbilang ringan, berbeda dengan Niki yang membutuhkan waktu lebih lama untuk membersihkan tumpukan cucian piring itu.

Sina pun menghampiri Niki usai menyelesaikan pekerjaannya, ia ikut membantu wanita itu menyeka piring basah dan menaruhnya di rak piring.

"Udah lama ya kita gak kedatangan tamu serame tadi," ujar Niki masih menyabuni piring.

"Iya. Dulu kita paling malas kalau ada orang yang mau ke rumah. Kenapa ya?" sambung Sina kebingungan sendiri mengapa ia palinh anti untuk berurusan dengan tamu di rumahnya.

Dan Niki telah menyelesaikan cucian terakhir piringnya, kini berputar untuk menghadap Sina.

"Ya jawabannya karena dulu kita gak bisa bersikap layaknya suami istri, Sin. Kita masih gak bisa ngehadapin orang yang bakal tanya tentang rumah tangga kita," jawab Niki yang mana mengundang lirikan Sina.

Pria itu pun juga telah selesai menyeka piring terakhirnya, dan ikut berbalik menghadap Niki. Lebih intens, Sina menarik pinggang istrinya itu agar mendekat ke arahnya.

"Terus kalau sekarang, kita udah bisa nerima tamu sebanyak mungkin?" tanyanya pelan.

"Gak mau banyak-banyak juga. Capek cuci piring tau!"

"Gampang nanti kita tinggal cari ART kalau kamu capek cuci piring."

"Tapi aku gak mau ada ART, Sin."

"Loh, kenapa? Katanya tadi capek cuci piring? Sekalian juga biar kamu gak tiap hari beresin rumah, Ki."

Niki memasang wajah cemberut di kala mendengar rencana Sina yang hendak mengambil ART.

"Tapi kalau ada ART, kita gak bisa sering-sering berduaan. Males deh, nanti kepergok sama orang lain," kata Niki menyampaikan keluhannya yang mana sempat membuat Sina melongo sebentar.

"Nanti deh ya, cari ART-nya kalau aku udah gak sanggup ngerjain pekerjaan rumah. Untuk saat ini, aku masih bisa kok, ngerjain semuanya, ya walau pun juga butuh bantuan kamu sih, kadang-kadang, hehe." Niki melanjutkan dengan cengiran di akhir.

"Ya udah deh kalau gitu. Pokoknya nanti kalau kamu udah capek bilang sama aku, biar aku langsung cari ART. Lagian, kayaknya kita memang butuh ART, Ki."

"Butuh banget?"

Sina mengangguk cepat, "kan, kamu gak selamanya sanggup buat ngerajin semua urusan rumah, apalagi gak menutup kemungkinan sebentar lagi kamu bakal berbadan dua."

Entah kenapa kalimat itu bisa meluncur dari bibir Sina, yang jelas membuat Niki kebingungan dan cukup speechless mendengar ucapan Sina barusan.

"Hah? Maksud kamu, Sin?"

Sina sedikit berdecak, menyadari jika ucapannya barusan tidak begitu dimengerti oleh Niki. Membuatnya harus menjelaskan lebih detail sekarang.

"Tadi aku disinggung tentang em, anak." Sina mengutarakan percakapannya bersama teman-temannya tadi dengan canggung.

"Terus?"

"Ya mereka pengen kita punya anak kembar."

"Hm, terus apalagi?"

Semakin membuat Sina kebingungan untuk melanjutkan hingga tidak sadar menggaruk kepalanya sendiri.

"Papah juga pengen punya cucu, tadi malam Papa kamu juga telfon aku, juga bilang pengen punya cucu kembar."

Bahkan Sina mengatakan semua yang dikatakan oleh Elnos dan Raskal kemarin pada Niki. Maklum, kehabisan topik pembicaraan.

"Jadi?" Dan Niki malah terus mencecari Sina dengan pertanyaan yang menyulitkan Sina untuk menjawab.

"Ya, ya udah. Kamu mau punya anak?"

Maka, kalimat terakhit dari bibir Sina yang mana sebenarnya sangat Niki tunggu sejak awal percakapan mereka tentang anak tadi.

"Gak ada orang yang gak pengen punya anak, Sin. Pertanyaan kamu itu kurang jelas, harusnya kamu tanya apa aku siap punya anak, gitu," ralat Niki sambil mengusap wajah dingin Sina yang tetap mulus walau sering terkena panas dan badai.

"Oke, kalau gitu, kamu siap punya anak dari aku?" ulang Sina kini lebih tegas dan berani.

Membuat Niki tertawa kecil, dan sesegera mungkin mencium pipi prianya itu.

"Aku siap. Aku siap mengandung anak dari Arsina Afnan, aku siap melahirkan anak kita, dan siap untuk membesarkan sepenuh hati aku." Begitu lantang tanpa keraguan Niki menjawabnya, hingga membuat Sina terharu.

Giliran Sina yang menjawab, tidak kalah tegas dan yakin untuk membalas ucapan Niki barusan.

"Dan aku siap, untuk menjaga kamu dan anak kita, Ki."

Itu adalah janji Sina pada Niki. Dan kini, tanggung jawabnya akan semakin bertambah seiring waktu yang berjalan. Hingga keduanya benar-benar dikaruniai anak, Sina berjanji akan terus berada di samping Niki dan anaknya kelak.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: ZingTruyen.Xyz