17. Rumah Lama
***
Sina sudah berada di rumah yang menjadi huniannya sejak umur nol hingga usia duapuluh empat. Yah, di umur duapuluh empat ini, Sina harus pindah ke rumahnya sendiri, bersama Niki tentunya. Jadi, bisa dikatakan Sina hanya bertahan sampai umur duapuluh empat awal saja tinggal di rumah ini.
Lalu, beralih topik pada Sina yang sedang berdiri berhadapan dengan Julia. Adiknya itu sudah memasang raut wajah jengkel terhadap kakaknya yang mana merepotkannya untuk membuka pintu rumah padahal harusnya Julia sudah masuk ke dalam alam mimpi sekarang. Lagipula, kenapa harus datang ke rumah, sih? Julia heran, padahal besok pun Sina akan kembali bertemu dengan Niki. Kenapa harus menyusul juga, gitu, loh?
"Pokoknya gue gak mau kalau lo minta gue pindah kamar!" tekan Julia dengan galak, takut-takut Sina kembali menyebalkan untuk menyuruhnya pindah kamar dengan alasan pria itu ingin berduaan bersama istrinya.
"Iye, gak." Sina membalas dengan bosan. "Gue cuma mau mastiin kalau Niki tuh beneran di sini."
"Lah, jadi lo gak percaya Ka Niki di sini?"
"Maksud gue, ya apa ya? Duh, bingung jelasinnya."
"Gak jelas memang lo, ah!" Julia menampik semakin kesal. "Ya udah sana masuk kamar lo, jangan ganggu gue sama Ka Niki noh, jangan sampe dia bangun karena dengar suara berisik lo itu."
"Iya iya," jawab Sina kalem menghadapi adiknya yang kelewat galak itu. Ya mau gimana? Sina memang menyebalkan bagi Julia, sih.
Dan sebelum Julia benar-benar masuk kamar, menutup pintunya, beruntung Sina masih sempat melihat Niki yang ternyata benar sedang tertidur di sana. Walau tidak sepenuhnya melihat Niki, setidaknya Sina lega karena wanita itu benar telah aman bersama Julia.
Maka Sina pun memutuskan untuk masuk kamar lamanya, akan kembali menempati kamar nuansa birunya yang tidak berubah sejak ia masih kecil. Rasanya cukup rindu, dengan semua perabotan di kamar ini, begitu pula kenangannya. Banyak figura foto yang berisi moment-moment Sina bersama keluarga dan teman-temannya terpajang di dindingnya sana. Sina sempat terdiam untuk mengamati satu per satu figura foto yang beraneka ragam itu, hingga terhenti agak lama di sebuah foto yang mana terdapat dirinya, Niki, juga pria lain di sana.
Sina memandang potretan ketiga orang itu dengan raut wajah datar. Senyum bahagia yang jelas sekali tercetak di dalam foto sana, sampai Sina tidak percaya jika senyuman ketiga orang itu tidak akan sama jika mereka dipertemukan lagi saat ini.
"Lo milih jalan yang salah, Fa. Salah banget."
Pandangan mata Sina tertuju jelas pada sosok pria yang bernama Rafa. Pria yang jelas-jelas telah membuat kebahagiaan Niki sirna, pria yang membuat Niki harus bersanding dengan pria yang tidak ia cintai.
***
Pagi hari yang cukup berbeda karena kali ini Niki tidak disibukkan dengan urusan dapur, karena Bik Kiko lah yang menjadi chef untuk pagi ini. Juga sama dengan Sina yang terlihat lebih happy karena menu sarapan pagi ini cukup beragam dan Sina suka itu.
"Masakan Bibik memang gak ada lawan lah!" Sina sempat memuji Bik Kuki yang mana langsung dibalas dengan senyuman oleh sang bibik.
"Kayaknya senang banget pagi ini dia, dikasih sarapan bejibun," sindir Niki tanpa melirik Sina yang hampir tersedak. "Biasanya cuma satu lauk dan itu gak enak, 'kan, Sin?"
Sina menelan segera makanannya dengan wajah takut. "Aku gak bilang gitu, loh."
"Halah, drama aja itu, Ka. Mana mau Bang Sina ngakuin di depan Ka Niki, padahal dia sering mampir ke rumah cuma buat sarapan lagi," tandas Julia yang mulutnya bagai kompor api. Heran, mengapa Sina punya adik laknat sekali?
Niki membalas dengan bibir melengkung ke bawah, sedangkan Sina yang seakan ingin membakar Julia hidup-hidup karena telah membuat hubungannya dengan Niki menjadi ruwet di pagi hari.
"Tapi, Papah gak tau kamu ternyata nginap di sini, loh, Sin. Kenapa gak kabarin dulu?" tanya Elnos yang mana sejak tadi hanya menjadi penikmat adegan adu bacot anak-anaknya.
"Iya itu Pah—"
"Ya karena Bang Sina datanganya juga mendadak banget, Pah. Karena dia tau Ka Niki ada di sini, langsung ikut nginap juga," potong Julia merasa tidak berdosa pada Sina yang sudah misuh-misuh dalam hati.
Elnos yang mendengarnya mendadak takjub. "Berarti pengen sama Niki terus ya? Wah, sweet couple banget!"
Mendengar perkataan Elnos tersebut malah membuat Sina salah tingkah sendiri, namun ia lebih mementingkan bagaimana reaksi Niki mendengar itu. Sina segera melihat Niki yang nampak santai saat mendengar perkataan Elnos.
"Sina memang suka bucin begitu, Pah. Dari kecil dia juga suka gitu," lanjut Niki.
Elnos mengangguk menyetujui. "Iya bener, Ki. Papah jadi ingat kalau Sina memang gak bisa lepas dari kamu kalau kamu main ke rumah. Yang tadinya hobi jalan jadi anteng di rumah."
"Yang tadinya anak bolang jadi anak pingitan."
Kenapa malah Sina mendapatkan serangan bully? Aduh, jika begini Sina malah terkesan sebagai pria yang begitu lemah di hadapan Niki.
Maka Sina memilih untuk segera mengakhiri acara sarapannya, daripada harus kembali mendapatakan bullyan atau apalah disebut itu, yang jelas Sina tidak ingin kentara sekali mengenai perasaanya terhadap Niki.
Ngomong-ngomong Sina belum benar-benar bertemu dengan Niki pagi ini, maksudnya bertemu berdua. Ia belum menyampaikan permintaan maaf mengenai kemarin pada Niki, belum Sina lakukan karena sejak tadi Niki selalu bersama Julia, menyulitkan Sina untuk berbicara karena ia pun tidak ingin si bontot itu malah meledekinya nanti. Harus ada timing yang tepat dan tangan pengganggu seperti Julia.
"Ki."
Dan ini adalah waktu yang tepat di saat Sina menghampiri Niki yang sedang menyiram tanaman di depan rumah sendirian.
"Hm." Niki membalas cuek. Terlihat sekali jika wanita itu sedang kesal.
Sina menggaruk tengkuknya sebelum kembali berbicara. Hal itu menjadi kebiasaan Sina sejak kecil jika sedang dalam perasaan tidak enak, salah tingkah, merasa bersalah.
"Maaf tadi malam aku gak sempat jemput kamu," kata Sina pelan. "Hp aku juga mati, jadi gak bisa ngabarin kamu kalau aku telat pulang."
Respon Niki hanya lah hening dan tetap melakukan kegiatannya untuk menyiram bunga, tetapi tidak mengatakan jika wanita itu mengabaikan Sina. Niki tetap mendengarkan Sina berbicara dan mungkin menunggu alasan apa yang membuat Sina tidak menjemputnya kemarin.
"Aku harus antar istri Pak Rendy pulang karena keadaannya yang buruk, Ki. Dia baru kena kdrt sama suaminya sendiri."
Pernyataan Sina itu jelas langsung membuat Niki menoleh dengan raut wajah kaget. Siapa yang tidak kaget mendengar itu, sih? Bahkan Niki saja hampir tidak percaya dengan perkataan Sina barusan.
"Ini baru pertama kali aku liat hal semacam itu, makanya aku gak bisa ninggalin beliau begitu aja," lanjut Sina lagi.
"Sin, aku ngerti." Niki membalas dengan segera tanpa harus menimbang-nimbang lagi. Tentunya, hal seperti ini harus dimaklumi oleh Niki, karena ternyata hal yang dihadapi Sina atas keterlambatannya itu adalah sesuatu yang sangat buruk.
"Memang kamu dasarnya jiwa penolong ya. Ngomong-ngomong, memangnya istrinya gak ngelawan pas suaminya ngelakuin itu, Sin?" tanya Niki.
"Yah, aku gak tau, Ki. Yang jelas kalau hal seperti itu aku lihat lagi, mungkin aku udah turun tangan."
"Jadi kamu mau turun tangan balas mukul Pak Rendy?"
"Gak, mau aku aku rukiyah aja."
Niki sedikit tertawa mendengar ocehan Sina, bersamaan dengan Sina yang menyadari jika mood Niki pun sudah kembali baik.
"Ki, tapi kalau bisa jangan tiba-tiba hilang kayak kemarin ya. Seenggaknya kasih note gitu di depan pintu kalau kamu gak ada di rumah, aku hampir lapor polisi loh, karena ngira kamu hilang."
"Lebay. Aku juga gak mungkin lari ke mana sih, Sin. Paling mentok ke rumah Papa atau ke sini, gak mungkin juga pergi ke Arab."
"Iya tapi sama aja. Pokoknya lain kali kabarin aku kalau kamu lagi gak ada di rumah. Tuh, Cimo aja pusing cariin kamu ternyata maminya ngungsi di rumah orang," seru Sina.
"Loh iya, Cimo sendirian di rumah ya?" Seketika Niki mengingat sang anabul yang merana di rumah sendirian. Wanita itu menjadi cemas sendiri setelahnya.
"Ya udah sekarang siap-siap pulang, yuk. Sekalian mau siap-siap kerja," ajak Sina kemudian dibalas dengan anggukan Niki.
Keduanya hendak masuk untuk berpamitan dengan Elnos, tetapi Niki malah menarik tangan Sina untuk berhenti sejenak. Wanita itu tidak berulah macam-macam sih, hanya mengatakan sesuatu yang menggelitik bagi Sina.
"Sin, kalau kamu pengen sarapan yang banyak bilang sama aku ya. Pokoknya nanti aku bakal siapin makanan buat kamu, gak kalah enak dari buatan Bik Kuki."
Entah lah apa maksud Niki mengatakan itu pada Sina. Yang jelas Sina hanya bisa tersenyum penuh arti setelahnya.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: ZingTruyen.Xyz