Sina memandang teduh batu nisan dengan ukiran nama seseorang yang sudah lama sekali tidak ia jumpai. Mungkin terhitung hampir duapuluh tahun, Sina tidak bisa melihat sang cinta pertamanya itu. Rasanya pasti sangat rindu, bahkan begitu besar hingga Sina sendiri tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan rindu tersebut."Sin."Teguran dari wanita yang sejak tadi berada di hadapannya itu, ikut bersimpuh bersama Sina, membuat Sina mengangkat kepalanya untuk menoleh pada Niki di sana. Sedikit Niki memberikan senyuman kecil pada Sina, menandakan jika sudah waktunya untuk mereka pulang setelah agak lama berada di sini. Bukan karena merasa tidak betah, wajar saja jika Niki mengajak Sina untuk lekas pulang mengingat tempat ini bukan lah sesuatu yang harus dikunjungi dalam waktu yang lama. Niki janji, mereka akan sesering mungkin untuk kembali lagi lain waktu."Yuk," ajak Sina beranjak berdiri, diikuti oleh Niki setelahnya. Dan sebelum keduanya benar-benar pergi, sempat Sina berkata pada makam milik sang mama di sana, seakan meminta ijin untuk pulang dan menyudahi acara temu kangen mereka."Mah, Sina pulang dulu, ya. Besok Sina bakal lebih sering kunjungin mama bareng Niki juga," katanya dengan pelan dan diakhiri oleh senyum tipis sebelum akhirnya melangkah menjauh dari area pemakaman yang sejak satu jam lalu ia tempati bersama Niki.Kini keduanya telah berjalan menuju parkiran mobil berada. Cukup jauh dari area pemakaman, maka dari itu keduanya memilih untuk mengobrol agak tidak merasa lelah untuk mencapai parkiran."Sin, kira-kira mama kita udah ketemu gak ya di akhirat? Mereka ngomongin kita tentang apa ya?" ucap Niki dengan pandangan lurus ke depan. Sina yang mendengar menoleh sebentar ke arah wanita itu. "Mungkin mereka ngobrolin kalau anak mereka udah tumbuh jadi anak hebat, apalagi Mamah pasti bangga liat anak laki-lakinya yang super ganteng dan jagoan ini.""Dih, kok pede banget?" sinis Niki."Pede aja dulu, Ki. Kita kan kudu berpositif thinking, walau kita gak tau yang sebenarnya, hahaha!" jawab Sina diakhiri dengan tawa yang sebenarnya garing tetapi Niki malah membalasnya dengan tawa juga."Ya deh, kalau gitu mungkin Mama juga lagi banggain anak perempuan satu-satunya ini tumbuh cantik, badan seksi, pinter cari duit, terus..." Niki ingin melanjutkan lagi, tetapi malah terhenti dan memilih untuk melirik Sina yang ternyata tengah memandangnya di sana."Terus apa?"Membuat Niki menghentikan langkahnya untuk menghadap Sina yang juga otomatis berhenti."Terus dia pasti gak bakal nyangka kalau aku punya suami kayak kamu. Eh, pasti mama juga kaget kalau aku bakal nikah muda ya?" sambung Niki lagi."Iya juga, mamah pasti juga gak nyangka kalau aku bakal jadi anaknya yang nikah duluan," kata Sina lagi yang mana langsung membuat koneksi Niki mengenai pernikahan tersambung."Kan kamu nikah karena kecelakaan Sin. Padahal harusnya mah, Kak Saski dulu!" ujar Niki."I-iya Ki, kecelakaan, hehe." Sina hanya bisa menyengir menanggapi apa maksud dari kecelakaan tersebut. "Tapi makasih loh, Sin. Kamu itu berkorban banget buat aku dan Papa," lanjut Niki dengan mengganti tatapannya menjadi teduh untuk Sina, mengutarakan bagaimana perasaanya terhadap Sina yang telah membantunya dalam masalah pernikahan ini. "Aku gak tau cara balas rasa terima kasih aku sama kamu, dan... kalau kamu butuh sesuatu pasti sebisa mungkin aku bakal bantu."Kelanjutan dari Niki yang hanya bisa membuat Sina terdiam. Pria itu hanya menatap Niki dengan tatapan dalam, tanpa bisa mengartikan jelas apa arti tatapan tersebut."Sin," panggil Niki merasa jika tidak ada sahutan dari pria itu sejak tadi, membuat wanita itu kembali menegurnya. "Kenapa diam sih? Jangan melamun di kuburan, nanti kamu kesurupan, loh!" Sina yang tersadar langsung menjawab. "Iya Ki, cuma mendadak nge-freeze aja dengar kamu ngomong tadi, tumben banget serius?""Iya lah! Emang kamu yang gak pernah serius?""Loh kalau gak serius, mana mungkin aku lancar ijab kabulnya kemarin, Ki.""Hah? Maksudnya?"Sina yang kelepasan sendiri langsung menggaruk kepala dengan tingkah yang tentu saja salah tingkah. Sedangkan Niki yang tidak mengerti apa maksud ucapan Sina itu meminta penjelasan lebih detail, namun Sina tentu tidak akan melanjutkannya. Namanya juga kelepasan, pasti ia berbicara diluar kendalinya, bukan? "Mau hujan nih, yuk cepat ke mobil!" ajak Sina dengan alasannya agar Niki tidak kembali mempertanyakan hal itu."Ih Sina, belum dijawab juga!" balas Niki yang tertinggal langkah Sina yang begitu cepat dan membuat wanita itu menyusulnya dengan langkah lebar.Dan hujan pun benar terjadi. Saat keduanya telah sampai di mobil dengan Niki yang menjadi pengemudi, langit pun menurunkan hujan yang tidak tanggung langsung sekaligus deras tanpa aba-aba gerimis terlebih dahulu. Beruntung saja keduanya telah sampai di parkiran dan masuk mobil, minimal tubuh mereka terhindar dari air hujan."Deras juga ya, padahal sebelumnya gak ada tanda-tanda mau hujan," komentar Niki sembari melihat peristiwa alam itu dari jendela mobil.Sina mengiyakan karena ia pun berpikiran sama dengan Niki. "Iya udah, aku jalan ya," kata Niki yang mulai menyalakan start mobil yang akan ia bawa setelah ini.Otomatis membuat Sina langsung menolehkan wajah dengan tampang waspada. "Ki, beneran bisa bawa mobil hujan deras begini?""Memang apa bedanya pas gak hujan, sih, Sin?" Niki selalu heran denhan Sina yang nampak menjelma menjadi emak-emak jikalau ia tengah menyetir mobil ataupun membawa motor. Jiwa cerewet Sina sudah pasti keluar secara otomatis."Kalo hujan lebih sulit lihat jalannya, Ki.""Ya kan pelan-pelan, Sina. Memangnya kamu mau kita kelamaan di sini sampe hujan berhenti?" tukas Niki mencoba sabar menghadapi kerisauan Sina jika berurusan dengan mobil."Ya gak, cuma aku gak yakin aja kamu bisa bawa di tengah hujan deras gini. Nanti gak liat ada lobang gede di depan, gimana?""Ya yakinin aja lah, Sin. Udah gak usah repot, kan aku juga bawa mobil pas datang ke sini tadi. Kenapa jadi ribet banget sih, kamu?" "Bukan ribet, tapi aku itu was-was. Kamu kalau bawa mobil juga selalu lupa sen kanan sen kiri, harus diingetin terus kalau ada belokan. Gimana aku bisa yakin?" balas Sina lagi dengan tidak mau kalah.
Niki mendengus sebal merasa jika kemampuan menyetirnya masih diremehkan oleh Sina. "Namanya juga aku baru belajar, Sin. Makanya harus dibiasain bawa mobil kalau mau lihai!"
"Belajar apaan? Udah dua tahun gitu punya SIM A masih aja kaku kalau bawa mobil."
"Itu karena kamu ngelarang aku terus bawa mobil!"
Ya mungkin perdebatan itu akan terus berlanjut hingga hujan reda.
***
Sina masih merasa nyawanya mengambang. Masih belum berada di raganya yang kini hanya bisa diam bak patung liberty. Jujur, sejak satu jam terakhir Sina hanya bisa pasrah untuk menyerahkan dirinya pada Yang Maha Kuasa. Kali ini ia lebih takut daripada saat manjat pohon, masuk gedung yang terbakar, masuk gorong-gorong, pokoknya tidak ada yang lebih menakutkan daripada harus berada di mobil bersama Niki sang pengemudi.
Jantung Sina benar-benar hampir lepas dan ia tidak tahu apakah masih mengijinkan wanita itu membawa mobil lagi setelah ini. Benar-benar seperti adegan Fast and Furious! Untung saja keduanya masih bisa sampai dalam keadaan selamat dan paling herannya lagi mobil pulang tidak dalam keadaan lecet sama sekali.
"Gak usah lebay, Sin. Tuh, mobil yang aku bawa gak kenapa-napa juga, pulang denhan selamat tuh!" sindiri Niki yang merasa kesal karena sepanjang jalan Sina meneriakinya saat ia membawa mobil. Bahkan menurut Niki, ia membawa mobil denhan baik, kok. Memang pada dasarnya Sina saja yang terlalu over dan menganggap Niki selalu salah dalam menyetir. Ya, namanya juga pria.
"Bukan masalah mobil, Ki. Ini nyawa kita berdua kalau tadi kamu gak ngerem, bisa terombang ambing tau gak?" balas Sina masih mengingat kejadian Niki hampir menabrak ayam karena tidak melihat jalanan tentunya.
"Iya Sin, aku tau kalau tadi ada ayam lewat. Cuma kamunya yang buat aku grogi tau gak? Kalau kamu gak teriak tadi pasti aku juga santai aja ngeremnya."
"Santai gimana, sih, Ki? Orang kamu gak liat gitu tadi."
Memang butuh tenaga ekstra untuk menghadapi Niki yang keras kepala, begitu pula harus memiliki kesabaran untuk menjawab apapun ocehan dari Sina. Keduanya itu memilki sifat yang cukup mirip, dengan keributan yang hampir mendekati, tidak ada yang saling mengalah, saling suka mengejek, yah masih banyak lainnya. Hanya tidak tahu bagaimana kelanjutan hubungan mereka nantinya, mengingat hubungan pertemanan mereka hingga sampai saat ini nampaknya masih terbawa dan tidak menunjukan nuasa keromantisan layaknya pasangan suami istri.
Entalah sampai kapan itu akan berlanjut. Yang pasti, baik Sina maupun Niki, nampaknya belum berminat untuk membicarakan mengenai perasaan mereka masing-masing. Mungkin menunggu waktu yang tepat.
To be continued