Sina kembali ke markas bersama Tio yang sejak tadi mengawasinya. Bukan karena apa, pria itu tentu saja sangat cemas mengenai kondisi Sina saat ini, apalagi Sina menolak untuk mengobati dirinya di rumah sakit, semakin membuat Tio harus ekstra hati-hati untuk membawa Sina sampai markas. Memang Sina tidak mendapatkan luka besar yang mengharuskannya datang ke rumah sakit, tetapi tetap saja, Sina harus mendapatkan perawatan cukup untuk pergelangan tangannya yang dirasa cidera cukup parah. "Gak papa, Bang. Nanti diobatin di markas aja, buat apa ada perawat di markas kalau gak kita gunain, 'kan?"Begitu kata Sina sebagai penolakan dari ajakan Tio. Dan saat mereka telah sampai di markas, Sina pun telah disambut dengan beberapa rekan kerjanya yang pasti mengetahui apa yang menimpa dirinya dan juga bencana alam yang saat itu terjadi. Beruntung gempa bumi hanya terjadi di daerah yang sedang Sina tempati saja, mungkin hanya bergetar kecil tidak menimbulkan kerusakan parah seperti di tempatnya tadi. Dengan begitu Sina pun ikut lega melihat jika bencana itu tidak menjalar dengan luasnya, dan ia tiba-tiga kepikiran seseorang. "Sin, gimana keadaan lo? Gila, tangan lo parah tuh!" "Gue dengar lo nyelamatin orang yang kejebak di gedung ya? Hebat banget pahlawan kita ini, makin harum nama lo deh, untung selamat ye lo!""Sin, mending obatin tangan lo dulu, deh. Nanti makin bengkak kalau gak diobatin," kata Donna yang satu-satunya menjadi orang yang memikirkan keadaan tangan Sina selain Tio. Sina yang juga tidak memiliki waktu untuk membalas semua ocehan rekannya, memilih untuk menuruti apa yang dikatakan Donna dan juga Tio. Mengobati pergelangan tangannya yang sudah ia rasakan berdenyut. Sina tidak ingin merusak kondisi kesehatannnya dengan semakin menahan rasa sakit dan berlagak kuat. Hingga berakhir Sina berada di tempat pengobatan yang mana khusus untuk petugas yang bekerja di sana. Beruntung pula markas sedang menerima seorang dokter magang, dan hal itu semakin memudahkan Sina agar mengetahui mengenai kecelakaan yang menimpa tangannya saat ini. Semoga saja tidak parah dan mengharuskan Sina mengambil libur."Tulang kamu kegeser, Sin. Mungkin karena kena benda keras dan itu butuh pemulihan agak lama."Hal yang tak diinginkan pun terjadi. Dokter itu mengatakan jika tangan Sina tidak akan membaik dalam waktu dekat, apalagi untuk mengerjakan sesuatu yang berat, itu sangat tidak diperbolehkan. Jadi intinya? Well, Sina harus beristirahat sembari menunggu tangannya pulih, tentunya dengan rajin kontrol yang kali ini harus datang ke rumah sakit. "Jadi berapa lama kira-kira?" tanya Sina ingin tahu berapa lama ia harus absen dalam pekerjaan tercintanya."Ya mungkin dua atau tiga minggu. Pokoknya sampai tangan kamu sembuh dan lepas gips," jawab si Dokter yang membuat Sina pada awalnya terkejut mendengar jumlah hari yang diberikan untuk dirinya, tetapi setelah itu ia hanya menghela napas pasrah. Mau bagaimana lagi? Toh, bukannya ini demi kebaikan Sina juga? Tidak mungkin ia memaksa untuk bekerja bukan? Jika terjadi sesuatu yang lebih buruk, siapa yang ingin menanggungnya nanti? Sina harus menurut kalau begittu,"Gak papa, Sin. Hitung-hitung liburan dulu sama bini," sambung si dokter bernama Frans itu usai menyelesaikan balutan gipsnya para pergelangan tangan Sina. Kini perban keras itu telah sepenuhnya menyelimuti seluruh pergelangan tangan Sina, dan hanya menyisakan ujung jari saja. Sina hanya memandang cemberut tangannya. Bukan tidak ingin liburan, hanya dalam kondisinya yang seperti ini, bukankah tidak bisa dikatakan sebagai liburan? Bagaimana mau bersantai ria dengan tangan yang berdenyut? Yang ada Sina malah merasa kesulitan nanti dan menyulitkan Niki, juga termasuk. Kemudian, setelah agak lama berada di ruang pengobatan, baru lah Sina kembali menuju tempat biasa berkumpul, hendak ingin membersihkan diri namun sudah kembali direcoki dengan kedatanga Farel cs yang sangat hobi mengusiknya. Entah kali ini pria itu akan mewawancari apa lagi yang jelas Sina sakit kepala mendengarnya."Sin, gimana kondisi lo? Aman?" tanya Rey."Gitu deh, gue absen dulu kerja tiga minggu disuruh Frans," jawab Sina malas."Tiga minggu? Gile enak bener!""Asik matamu!"Sina berdumel dengan mata melototi Farel di sana."Tapi barusan gue baca nih di berita, ternyata salah satu orang yang kejebak di gedung itu ada istirnya pak pejabat yang lagi kampanye!" seru Nata mengubah topik dengan yang lebih hot ternyata daripada keadaan Sina."Widih, terus lo nyelamatin bininya pejabat, Sin?" Sina menggeleng, "ya mana gue tau, banyak orang di sana gak sempat kenalan sampe namanya bininya siapa kali." "Ye mungkin lo bisa lihat dari penampilannya. Kalo sosialita mungkin aja iya!""Gue gak kepikiran sampe sana, nyet!"Memangnya apa permasalahannya jika Sina menyelamatkan seorang istri pejabat? Toh, yang penting semua orang di saja sudah selamat tanpa membawa luka berat. Tidak ada yang hatus diapresiasi walau ia menyelamatkan anak raja sekali pun. Sina memandang semua manusia sama, cielah. Ajaran sang bapak sih, begitu."Ya udah terus habis ini lo langsung pulang?" Sina mengangguk dengan ragu."Mau gue antar, Sin? Kebetulan bawa mobil," tawar Donna yang tahu jika Sina tidak mungkin pulang membawa motornya.Sepertinya ide bagus untuk menerima tawaran Donna. Tetapi sayang, sepertinya Sina tidak bisa menerima tawaran itu karena datangnya seseorang yang menjadi pengalihan perhatiannya saat ini hingga mengabaikan ajakan Donna, lagi."Niki, kamu di sini?"Seorang wanita dengan pakaian biru mudanya, berantakan, kini datang dengan raut wajah menahan tangis di sana. Niki mendekati Sina, semakin menurunkan lekuk bibirnya saat mengetahui apa yang terjadi pada Sina ."Sina, kenapa gak kabarin aku kalau kamu sudah sampai markas?" seru Niki dengan nada yang bisa terbilang kesal di sana."Ki, aku—""Mas Tio yang kabarin aku, dia bilang kamu nekat masuk buat nyelamatin orang di dalam gedung. Kamu tau itu bahaya gak, sih, Sin? Kamu gak sayang nyawa kamu ya? Kalau kamu kena runtuhan beton terus mati, gimana?" cerocos Niki tanpa peduli jika ucapannya itu sangat terbilang mengejutkan untuk beberapa orang di sana. Bahkan wanita itu berbicara lancar tanpa jeda sekali pun. Dan Sina masih berusaha untuk menenangkan Niki dengan memberikan senyum memaksa."Ki, aku gak papa.""Gak papa, gimana? Tangan kamu kenapa di gips? Pasti tulangnya patah, 'kan? Atau malah kamu baru operasi tulang? Ada besi yang nyangkut di tangan kamu?" cecaran itu kembali berdatangan hingga membuat Sina nampaknya pasrah untuk membalas apalagi. Ia hanya melirik teman-temannya yang seketika memasang wajah takjub saat melihat istri Sina yang begitu dahsyat mengomeli Sina saat ini.Mungkin omelan Niki tidak akan berakhir cepat karena pasti wanita itu masih memiliki cecaran kata yang akan ia sampaikan lagi untuk Sina. Dan Sina siap untuk mendengarnya. Namun, nyatanya itu tidak lagi terjadi saat Niki malah menuduk, menyembunyikan wajahnya yang ternyata menahan tangis di sana."Niki? Kenapa?" tanya Sina mendadak khawatir dengan perubahan tingkah Niki saat ini. Lebih menyeramkan daripada wanita itu saat mengomel ternyata.Niki mengangkat wajahnya, memperlihatkan wajah merahnya yang sejak tadi tahan. Air matanya perlahan keluar beserta isakannya yang mana langsung membuat Niki memeluk Sina dengan erat."Kamu gak tau aku cemas banget, Sin! Aku takut kamu mati, Sina!" isaknya kini dengan suara tertahan karena telah berada di pelukan Sina. Tidak peduli dengan pakaian pria itu yang masih berdebu, Niki tetap mengeratkan pelukannya seakan tidak ingin lepas barang satu detik saja.Lalu Sina sendiri? Hanya mematung sesaat sebelum akhirnya melirik rekan-rekannya yang sejak tadi masih fokus menonton adegan keduanya. Benar ini nampak seperti sebuah drama! Jadi, apakah Sina akan membalasnya dengan adegan yang lebih melankonis? Membalas pelukan Niki dengan perkataan "aku gak papa, sayang." Wow, kemungkinan akan ada yang muntah jika Sina benar melakukan itu.Maka dari itu Sina hanya membalas dengan kekehan kecil beserta tangannya yang naik untuk mengusap rambut sebahu milik Niki tersebut."Aku masih punya tujuh nyawa, Ki."Memang Sina bukan lah seorang yang bisa berkata manis, walau saat masih lajang ia lihai untuk melakukan itu. Entah, jiwa buaya daratnya meluap ke mana."Ih, Sina!" Niki sudah melepaskan pelukannya pada Sina dan beralih untuk menatap pria itu dengan wajah cemberut. "Pokoknya lain kali jangan pernah ngelakuin sesuatu bahaya! Ingat, kamu punya kafe yang belum setahun kamu jalanin, kalau bangkrut dan uang sewanya di alihin ke aku gimana? Aku yang repot!"Sina membalasnya dengan tawa singkat. Ia tahu ucapan Niki barusan pun hanya bercandaan semata, karena itu Sina memilih tidak meladeninya karena bisa lebih panjang urusan jika mereka tetap melanjutkan obrolan mengenai hal itu. Niki itu tidak ingin kalah dan kadang Sina pun begitu. "Ya udah karena sekarang aku harus pulang, jadi saudari Nikola Salema, sudikah dirimu untuk mengantarkan saudara Arsina Afnan B ini pulang ke rumah dengan selamat?" Sina benar-benar lupa jika masih ada sekumpulan orang yang melihatnya di sana. Habis lah setelah ini akan dibully habis-habisan dengan tingkah
freak nya itu.
***
Sina pulang bersama dengan Niki yang ternyata tidak membawa mobil. Well, pada akhirnya mereka pulang dengan taksi online karena hanya itu kah kendaraan yang bisa memfasilitasi keduanya hingga sampai rumah. Motor Sina sendiri akan diantar oleh Rey nanti saat pulang kerja.
Kini Sina telah selesai membersihkan diri dengan agak susah karena harus memakai satu tangan saja. Ia harus terbiasa menggunakan satu tangan, walau memang perlu waktu dan latihan. Sina pun memutuskan untuk berbaring di kasur, mengistirahatkan tubuhnya yang benar-benar kaku dan terasa sangat pegal saat digerakan. Aktivitasnya hari ini benar menyita semua tenaganya, rasanya Sina ingin segera tidur saja jika tidak ada Niki yang datang membatalkan niatnya untuk tidur.
"Sin, makan dulu. Aku bawain sate padang, nih." Niki duduk di ujung ranjang, tempat Sina berbaring lebih tepatnya, dengan membawa nampan berisi satu bungkus sate padang beserta air mineral dan tablet vitamin untuk Sina.
"Yaa." Sina menjawab patuh dan segera memposisikan dirinya untuk bersandar di dashboard ranjang.
"Kamu mau suapin, 'kan?"
"Iyaa, makanya harus habis tapi aku beli dua bungkus soalnya," jawab Niki seketike membuat Sina mengerutkan kening.
"Satunya lagi punya kamu?"
"Hm."
"Kenapa gak dimakan aja, Ki?"
"Diet. Tadi aku pesan dua karena lebih murah kalau pesan dua, tapi ingat udah jam delapan, gak jadi makan deh," jawab Niki dengan santainya di sana, tetapi tidak santai bagi Sina.
"Ki, kamu ini kerja seharian di toko, aku yakin kamu juga gak sempat makan siang tadi. Kamu mau sakit karena nunda makan lagi?" Sina mode ceramah pun terjadi.
"Iya tapi Sin, makan jam segini gak baik tau. Kamu tau sendiri kalau aku ngehindarin makan malam buat jaga body," elak Niki lagi kekeuh dengan pendiriannya.
"Terus kemaren malam nasi padang sama shouffle itu apaan, Ki? Jaga body? Udah deh, yang penting kesehatan kamu dulu, diet mah bisa belakangan, lagian kamu udah pas badan segitu gak usah dikecilin lagi," papar Sina dengan meyakinkan jika tidak akan ada berubah dengan makan malam sepuluh tusuk sate pun pada tubuh Niki.
"Tapi, Sin—"
"Makan ya, Niki." Sina menyela cepat dan sedikit memajukan wajahnya untuk menatap lebih intens wanita di depannya itu, seakan tidak menerima penolakan lagi.
Dan tatapan mata itu terjadi selama beberapa detik, sebelum akhirnya Niki mengangguk walau dengan terpaksa. Sina yang melihatnya langsung memberikan senyum penuh kemenangan.
"Ya udah sekatang buka mulut, mau aku masukin nih sate sekalian tusuknya ke mulut kamu!" Niki sudah melayangkan satu tusuk yang berisi daging beserta lontongnya di depan mulut Sina.
"Jangan serem gitu dong, bu. Katanya takut aku mati, kalau mati ketelen tusuk sate gimana?"
Niki merespon dengan decakan kecil sebelum akhirnya benar-benar menyuapi Sina dengan makanan yang ada di tangannya. Tidak serius untuk menusuk dengan tusuk sate tentunya. Lalu, berganti wanita itu kembali memasukan makanan ke mulutnya.
"Sin, kalau begini aku jadi ingat sesuatu, deh. Dulu kita memang suka suap-suapan kalau diantara kita ada yang sakit. Ingat, 'kan?" Niki berkata di sela Sina mengunyah makanannya.
"Iya, ingat."
Niki kembali berujar dengan tangannya yang kembali naik untuk menyuapi Sina kedua kalinya. "Terus sampai kita jadi suami istri, kayaknya ini baru pertama aku suapin kamu."
Entahlah akan berujung ke mana ucapan Niki itu, yang jelas Sina mengentikan kunyahan mulutnya saat mendengar lanjutan pembicaraan wanita itu.
"Kira-kira kita berakhir kayak gimana ya?"
To be continued