ZingTruyen.Xyz

Stepbrother

Stepbrother!

•••

“Bunda kapan pulang, kak?”

Pertanyaan dari Sheila itu berhasil mengundang atensi Rangga yang dari tadi sibuk menyiapkan makan malam. Lelaki itu menghela napas, lalu menghampiri sang adik tiri dengan sepiring nasi lengkap dengan lauknya.

“Minggu depan. Kalau kamu mau, nanti kakak telpon biar bunda sama ayah pulang besok,” ucapnya.

Rangga lalu memakan makan malamnya, begitupun Sheila. Gadis itu menggeleng, lalu kembali melanjutkan makannya. Atmosfer hening melingkupi ruang makan pada malam itu, hanya suara sendok dan piring yang beradu mesra.

Setelah selesai, Sheila mencuci piring dan gelas kotor mereka. Tadinya Rangga yang hendak melakukan itu, tapi Sheila memaksa. Jadi ya—ya sudahlah.

Jam menunjukkan pukul 07.30 p.m., Sheila memasuki kamarnya setelah selesai mencuci piring. Ia mematikan lampu kamarnya, lalu mulai menjelajah dunia mimpi.

Belum juga 5 menit ia memejamkan mata, sebuah bayangan lelaki brengsek itu kembali merasuki pikirannya. Ah sial, harus sampai kapan dia seperti itu terus? Terlalu berlarut-larut seperti ini malah makin memperburuk mentalnya.

“Kak Rangga...” lirihnya.

Sheila yakin kalau kakak tirinya itu belum tidur. Ia ingin ditemani sebentar, setidaknya sampai ia benar-benar tidur.

“Kak Rangga...” panggilnya lagi. Kini lebih keras dari yang tadi.

Kriet!

“Ada apa, dek?” tanya lelaki itu, lalu menutup pintunya lagi.

Rangga mendekat ke ranjang, lalu menyalakan lampu kamar Sheila. Dapat ia lihat kalau adik tirinya itu sedang meringkuk di bawah selimut dengan ekspresi hampir menangis.

“Kenapa, dek? Ada yang sakit?” tanyanya panik, sang adik tiri menggeleng.

“Temenin aku tidur, aku takut.” Dan Sheila menangis lagi.

Rangga langsung saja mengiyakan, lalu merebahkan tubuhnya di sebelah adik tirinya itu—setelah mematikan lampu kamar dan menggantinya dengan lampu tidur yang remang.

“Udah tidur aja, ada kakak di sini, jangan takut...” ucap Rangga sambil menatap wajah Sheila dalam remangnya ruangan.

“Kakak punya pertanyaan yang bisa bikin kamu tidur nyenyak dan lupain itu semua. Mau tau, gak?” tanya Rangga sambil tersenyum manis, dan Sheila mengangguk.

“Warna tulang itu apa?” tanyanya, tersenyum geli dalam hati.

“Putih,” jawab Sheila dengan polosnya.

“Warna kertas HVS?” tanyanya lagi.

“Putih,” jawab sang adik tiri.

“Sapi minumnya apa?” tanya Rangga sambil menahan tawa.

“Susu.” Tawa Rangga seketika meledak, membuat Sheila mengernyitkan alis tak mengerti. Kenapa kakaknya itu?

“Sapi kok minum susu. Sapi ya minum air, dek! Hahahahaha!” Seketika Sheila yang tadinya tidak paham pun akhirnya ikut tertawa pelan.

“Kakak punya pertanyaan lagi. Gampang banget!” Sheila pun dengan antusias menyambutnya. Kali ini dia tidak akan terkecoh—semoga.

Rangga mengulum senyum jahil. Bocah polos seperti Sheila ini sudah pasti lempeng-lempeng saja menjawabnya.

“Tinta gurita warnanya apa?” Rangga tersenyum penuh arti.

“Hitam,” jawab Sheila dengan santai.

“Rambutmu warnanya apa?” tanyanya lagi.

“Hitam,” jawab Sheila makin santai.

“Kelelawar tidurnya kapan?” Rangga kembali menahan tawa.

“Malem,” jawab Sheila dengan percaya diri—membuat Rangga kembali terbahak dan tersedak tawanya sendiri.

“Kelelawar tidurnya siang dong, dek. Ah, gak fokus kamu!” ledeknya pada sang adik yang baru sadar, lalu keduanya tertawa bersama.

“Satu lagi deh, janji yang ini gampang banget!” ucap Rangga, dan langsung disetujui oleh Sheila.

“Ada pesawat yang mau ke Malaysia. Nah, di perbatasan antara Malaysia dan Kalimantan itu, pesawatnya jatoh.” Sheila menyimak dengan serius, sampai Rangga terkekeh pelan sebelum melanjutkan kalimatnya.

“Kira-kira...yang selamat dikubur di mana?” Pertanyaan yang mudah.

“Di Kalimantan! Yeay, aku bener ‘kan!” Sayangnya Sheila hanya modal percaya diri dan tidak fokus—membuat Rangga kembali terbahak.

“Yang selamat ya gak dikubur dong, dek! Sembarangan kamu ngubur orang yang masih hidup! Hahahahaha!”

Setelahnya, wajah Sheila berubah blank dan selanjutnya tertawa bersama sang kakak tiri. Ruang lingkup kesedihan yang remang itu, kini berubah suasana jadi lebih bahagia.

“Nah, sekarang kamu lupa ‘kan masalah yang itu? Nanti, kalau inget lagi, alihkan aja pikiran kamu ke hal-hal yang bikin kamu tertawa. Sapi minum susu, misalnya!” ucap Rangga setelah tawa mereka sudah reda.

Sheila tersenyum, lalu menganggauk. Hal selanjutnya yang gadis 15 tahun itu lakukan adalah memeluk tubuh Rangga, menenggelamkan wajahnya di dada bidang sang kakak tiri dan mengucapkan terimakasih.

Rangga yang mendapat pelukan tiba-tiba itu, kaget seketika. Sebentar, kenapa jantungnya berdebar-debar seperti ini? Oh iya, kalau tidak berdebar ya nanti meninggal dong.

“Aku sayang kak Rangga!” ucap Sheila, mendongakkan kepalanya dan tersenyum kelewat manis.

Rangga terpaku sejenak dengan senyuman adik tirinya itu. Ah tidak, kenapa detak jantungnya tidak terkontrol begini? Senyuman Sheila ternyata meresahkan untuk kesehatan jantungnya.

“Kok kakak diem? Kak Rangga gak sayang aku juga?” Pertanyaan itu membuyarkan lamunan Rangga, ia jadi blank.

“Hah? I—iya, kak Rangga juga sayang kamu, Sheila.”

Dan malam itu, Rangga tidak bisa tidur karena jantungnya yang terus berdebar-debar seperti ingin meledak saja—lantaran sang adik tiri yang memeluknya sampai fajar menyambut.

Sepertinya sekarang bukan perasaan Sheila yang meresahkan, tapi Rangga. Ah, atau malah perasaan keduanya?

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: ZingTruyen.Xyz