ZingTruyen.Xyz

Lili Of The Valley Lee Jeno

Kelahiran dan kematian, pada dasarnya memang selalu berikatan. Sama-sama tidak bisa diprediksi, karena sekali lagi Tuhan adalah pemegang kendali kehidupan yang sebenarnya.

Yeji tahu itu, begitulah jalan takdir yang digariskan Tuhan padanya. Di akhir bulan Februari yang penuh cinta dia harus merelakan sang ibu pergi ke tempat Tuhan untuk selamanya.

Untunglah Jeno senantiasa berada di dekatnya, bahkan ketika semua pelayat meninggalkan makam, hanya mereka berdua yang enggan angkat kaki. Lebih tepatnya hanya Yeji. Perempuan berbadan dua itu bersimpuh di depan batu nisan sang ibu sambil mengeluarkan seluruh tangisnya, berbanding lurus dengan langit mendung yang mungkin sebentar lagi akan menurunkan hujan.

"Jeno! Cepat bawa Yeji masuk, sebentar lagi akan turun hujan!", teriakan Mark menginterupsi pemuda itu untuk mengajak sang kekasih menjauh, meski berat hati Yeji tetap mengiyakannya.

Mark menawarkan diri untuk mengantar mereka pulang. Yeji sekali lagi hanya mengiyakan, dia benar-benar merasa sendiri saat ini, apalagi sang ayah yang tidak memberi kabar sama sekali.

Kekosongan merayapi hatinya, bahkan di dalam mobil pun Yeji enggan untuk bersuara. Hujan dari balik kaca jendela terlihat lebih menarik minatnya. Jeno tahu kekasihnya itu ingin memiliki waktu untuk sendiri. Jadi dia lebih memilih untuk diam.

Mobil itu berhenti tepat di depan rumah Yeji, perempuan itu turun diikuti dengan Jeno. Yeji mengernyit, bukannya dia tidak suka hanya aneh melihat Jeno memilih ikut bersamanya daripada pulang ke rumah pemuda itu. Setahu Yeji, Jeno tidak memiliki waktu sebanyak ini.

"Kamu tidak pulang ke rumahmu?", tanya perempuan itu.

"Kamu mau aku pulang?"

"Tidak, hanya saja... "

"Kalau kamu membutuhkan waktu untuk sendiri aku akan pulang"

"Tidak, jangan pulang. Aku... Aku takut sendirian", baru saja Jeno akan melangkah pergi tapi kedua lengan Yeji sudah mengunci tubuhnya. Gadis itu memeluknya dari belakang.

Seseorang pernah berkata, semua yang terjadi selalu memiliki alasan. Yeji percaya itu, setidaknya dengan adanya Jeno disisinya dia tahu dia memiliki alasan untuk bahagia.

Yeji memandangi wajah kekasihnya yang masih terpejam. Malam kemarin, pemuda itu bersikeras untuk tidur di sofa ruang tamu, padahal Yeji sudah menawarkan diri untuk tidur di kamarnya saja. Jeno memang sangat keras kepala, daripada berdebat dengannya Yeji memilih mengiyakannya.

Pasti sakit tidur di sofa kecil seperti ini, gumamnya dalam hati.

Yeji jadi merasa bersalah sedikit, dia membenarkan posisi tidur kekasihnya sebelum beranjak ke dapur untuk membuat sarapan.

Telur mata sapi dan nasi goreng kimchi adalah menu utama pagi ini. Setelah menyelesaikannya Yeji buru-buru berlari ke kamar mandi, perutnya terasa diaduk bahkan kepalanya ikut pening sekarang.

Hoek! Hoek!

Walau sudah berusaha sekuat tenaga pun hasilnya nihil, hanya cairan bening yang keluar dari mulutnya. Sebelah tangan perempuan itu bertumpu pada wastafel, sementara tangan yang lain memijit pelipisnya. Tenaganya seketika habis terkuras.

"Kamu baik-baik saja?", itu suara Jeno, dia baru saja bangun dan seketika panik ketika mendengar kekasihnya itu tengah muntah di kamar mandi.

"Maaf membuatmu terbangun", Yeji tersenyum tipis.

"Apa yang kamu bicarakan, hmm? Harusnya aku yang minta maaf. Karena aku kamu jadi,..", belum selesai Jeno merampungkan kalimatnya tapi Yeji sudah menyela lebih dulu.

"Sudah jangan diteruskan lagi"

Jeno hanya tersenyum. Memandangi wajah kekasihnya yang putih pucat. Dalam hatinya dia selalu mengagumi perempuan yang akan menjadi ibu dari anaknya itu. Yeji tidak pernah mengeluh, Yeji tidak pernah menuntut ini dan itu, Yeji selalu mengertinya. Yeji hanyalah Yeji. Orang yang dia cintai tanpa cacat sedikitpun.

"Hey, sayang. Jangan merepotkan ibumu lagi. Tumbuhlah dengan baik di dalam sana, ya", Jeno berjongkok menyamakan posisinya dengan perut Yeji lalu mengusapnya pelan.

Yeji tidak tahu angin apa yang membuatnya menangis. Mungkin hanya terbawa suasana tapi yang jelas ada sesuatu yang berdesir di dalam dadanya, sesutu yang mendorongnya untuk memeluk erat tubuh Jeno.

Entahlah, dia hanya merasa tidak sendiri lagi.

"Terima kasih, Jeno", lirihnya yang teredam dekapan hangat kekasihnya.

"Nah, kalau begitu ayo kita makan. Lee junior juga pasti kelaparan"

Pagi yang hangat berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. Pagi ini walaupun tidak ditemani ayah atau ibunya tapi Yeji merasa lengkap. Apa ini definisi dari bahagia itu sederhana? Sesederhana sarapan bersama dengan orang yang kita cintai.

"Kamu ada rencana nanti siang, Yeji?"

"Tidak. Aku mengambil cuti hari ini"

"Kalau begitu ikutlah denganku"

"Kemana?"

"Ke gereja"

"Gereja?"
































"Menikahlah denganku hari ini, Yeji"

Bukankah Yeji pernah bilang bahwa dia percaya, semua yang terjadi selalu memiliki alasan? Lalu hari ini Tuhan memberikannya sebuah alasan lagi. Sebuah alasan untuk bahagia.

Tbc.

An.
Akhirnya sebentar lagi mereka nikah! Yeay! Terima kasih atas doanya ibuk-ibuk...

Ini kecepatan nggak sih?

Anyway, terima kasih sebanyak-banyaknya untuk kalian yang udah ninggalin komentar dan setia nungguin cerita ini. Walaupun, ceritanya masih jauh dari kata sempurna tapi apresiasi kalian selalu ngebuat aku percaya untuk nulis lagi ❤️

Don't forget to tap ✨ and comment 🙏

Bạn đang đọc truyện trên: ZingTruyen.Xyz